Kisah Sultan Muhammad Salahuddin, Pemimpin Bijak dan Pejuang Republik

Senin, 10 November 2025 | 08:02:33 WIB
Kisah Sultan Muhammad Salahuddin, Pemimpin Bijak dan Pejuang Republik

JAKARTA - Tanggal 10 November 2025 menjadi hari bersejarah bagi masyarakat Bima dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada momen peringatan Hari Pahlawan tersebut, nama Sultan Muhammad Salahuddin, Sultan Bima XIV, resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh negara. 

Pengakuan ini tidak hanya menjadi kebanggaan bagi masyarakat Bima, tetapi juga menjadi simbol bahwa perjuangan tokoh-tokoh daerah memiliki arti besar dalam sejarah bangsa.

Bagi warga Bima, penganugerahan ini bukan sekadar seremoni kenegaraan, melainkan puncak dari perjalanan panjang lebih dari satu dekade untuk mendapatkan pengakuan negara atas jasa besar Sultan ke-XIV mereka. Sultan Salahuddin adalah sosok pemimpin yang tidak hanya berjuang di masa penjajahan, tetapi juga melampaui zamannya dengan pemikiran yang progresif, humanis, dan penuh keberanian moral.

Pemimpin yang Melampaui Zamannya

Sultan Muhammad Salahuddin memimpin Bima dari tahun 1915 hingga 1951. Di masa penuh tekanan kolonial dan transisi menuju kemerdekaan, ia menjadikan kekuasaan bukan sebagai alat dominasi, tetapi sarana pengabdian bagi rakyat. Di tengah hegemoni kolonial Belanda, Sultan menempatkan rakyat sebagai pusat kebijakan. Ia membuka akses pendidikan, memperkuat ekonomi lokal, serta menjaga semangat kebangsaan di wilayah timur Indonesia yang kala itu jarang mendapat perhatian nasional.

Salah satu momen penting dalam sejarahnya adalah ketika Kesultanan Bima membebaskan diri dari cengkeraman Belanda selama 103 hari. Langkah ini menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan di wilayah Indonesia timur, menegaskan bahwa semangat kemerdekaan tidak hanya hidup di Jawa atau Sumatera, tetapi juga di Samparaja, Bima.

Tindakan politik paling monumental Sultan Salahuddin adalah Maklumat 22 November 1945, ketika ia menyatakan kesetiaan penuh Kesultanan Bima kepada Republik Indonesia yang baru berdiri. Di saat banyak kerajaan masih ragu menentukan sikap, Sultan dengan tegas memilih berdiri bersama republik muda. Keputusan itu membuat Bima menjadi salah satu daerah pertama di Indonesia bagian timur yang menyatakan dukungan terbuka terhadap kemerdekaan.

Keberanian dan Keteguhan dalam Mempertahankan Republik

Pilihan Sultan untuk mendukung Republik bukan tanpa risiko. Ia harus melepaskan sebagian besar kekuasaan tradisionalnya dan mengubah sistem pemerintahan yang telah berjalan selama berabad-abad. Namun, baginya, pengorbanan itu adalah konsekuensi dari cita-cita yang lebih besar: kemerdekaan dan kesejahteraan rakyat.

Keberanian Sultan juga terlihat ketika pasukan Belanda, melalui NICA, berusaha kembali menancapkan kekuasaan setelah proklamasi kemerdekaan. Ia dengan tegas menolak kehadiran mereka di Bima. Sikap tersebut membuatnya mendapat perhatian dari pemerintah pusat. Presiden Soekarno bahkan datang langsung ke Bima untuk menyampaikan apresiasi atas keteguhan sang Sultan dalam menjaga integritas republik.

Tindakan ini menunjukkan bahwa Sultan Muhammad Salahuddin bukan hanya penguasa daerah, tetapi juga negarawan sejati yang memahami arti strategis kemerdekaan Indonesia. Ia menempatkan kepentingan rakyat dan kedaulatan bangsa di atas segala bentuk kekuasaan pribadi maupun kebangsawanan.

Pembaharu Sosial dan Pendidik Rakyat

Lebih dari seorang raja, Sultan Salahuddin adalah seorang pembaharu sosial dan pendidik sejati. Ia percaya bahwa kekuatan bangsa terletak pada kecerdasan dan karakter rakyatnya. Pada masa kolonial, ketika pendidikan masih terbatas untuk kalangan bangsawan, Sultan membuka sekolah umum dan agama menggunakan dana pribadi. Ia bahkan memberikan beasiswa kepada anak-anak miskin agar mereka dapat mengenyam pendidikan.

Pemikirannya melampaui zamannya. Sultan memahami bahwa pendidikan adalah senjata utama menuju kemerdekaan sejati. Berkat kebijakan progresifnya, Bima dikenal sebagai salah satu daerah dengan tingkat literasi tertinggi di Indonesia bagian timur pada masa itu.

Dalam bidang pendidikan Islam, Sultan juga memperluas akses pengajaran kitab agar dapat dipelajari oleh masyarakat umum, bukan hanya kalangan istana. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara ilmu dan iman. Bagi Sultan, kemajuan sejati hanya dapat dicapai apabila rakyatnya berilmu, berakhlak, dan mandiri.

Selain itu, ia dikenal terbuka terhadap perubahan. Sultan menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional, mendukung organisasi modern, dan memperkuat dialog lintas kalangan demi kemajuan sosial.

Pengakuan dan Makna Penganugerahan

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Muhammad Salahuddin bukan hanya bentuk penghormatan terhadap sejarah, tetapi juga refleksi moral bagi bangsa masa kini. Keteladanan Sultan mengingatkan bahwa kekuasaan sejati bukan tentang memerintah, melainkan tentang mengabdi.

Dalam konteks hari ini, ketika nilai-nilai moral sering terpinggirkan oleh kepentingan pragmatis, sosok Sultan memberikan inspirasi tentang kepemimpinan yang berakar pada etika dan tanggung jawab sosial. Ia menunjukkan bahwa kekuasaan tanpa moral adalah kehampaan, dan ilmu tanpa pengabdian adalah kesia-siaan.

Bagi masyarakat NTB, pengakuan ini menjadi kebanggaan kolektif. Kesultanan Bima kini dipandang bukan sekadar institusi tradisional, tetapi simbol kebangsaan dan pembaruan. Warisan nilai-nilai Sultan perlu dijaga melalui pelestarian Museum Asi Mbojo, kompleks Samparaja, serta integrasi nilai perjuangannya dalam kurikulum pendidikan lokal agar generasi muda memahami akar sejarah mereka.

Warisan Nilai untuk Masa Depan

Teladan Sultan Muhammad Salahuddin relevan untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa masa kini. Prinsipnya tentang pemerataan pendidikan, keadilan sosial, dan keberpihakan kepada rakyat kecil sejalan dengan cita-cita nasional menuju Indonesia yang berkeadaban.

Pemerintah daerah dapat menjadikan semangat Sultan sebagai inspirasi kebijakan publik. Pengakuan negara atas jasanya seharusnya diikuti dengan upaya membangun sumber daya manusia yang cerdas, berakhlak, dan berjiwa pengabdian.

Ketika namanya disebut di Istana Negara pada 10 November 2025, masyarakat Bima tidak hanya menyaksikan penghargaan negara, tetapi juga menyambut kembali pesan abadi sang Sultan:
bahwa kemuliaan sejati bukan milik mereka yang berkuasa, melainkan milik mereka yang mengabdi.

Selama semangat belajar, keberanian, dan pengabdian terus dijaga oleh generasi penerus, cahaya Samparaja yang pernah dinyalakan Sultan Muhammad Salahuddin akan tetap menyala—menjadi pelita bagi perjalanan bangsa menuju masa depan yang adil, makmur, dan beradab.

Terkini